BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pesantren
merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional
untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup
keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah
menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui
sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pesentren sebagai lembaga pendidikan pertama di Indonesia telah banyak
melahirkan generasi-generasi emas, pondok pesantern telah menorehkan tinta emas
dalam peradaban sejarah bangsa Indonesia. Pesantren bukan saja lembaga tempat
mencari dan menuntut ilmu tetapi juga tempat penggemblengan karakter pada diri
santri, ketika lulus dari pesanteran sang santri tersebut diharapkan dapat
menerapakan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan contoh dan teladan bagi
masyarakat. Hal ini yang tidak terdapat dalam pendidikan umum,
sekolah sekolah
dan perguruan tinggi. Dalam hal ini bukan berarti penulis menghendaki semua
metode pesantren diterapkan dalam lingkungan sekolah penerapan pendidikan
karakter yang ada dalam pesantren diberlakukan pada pondok pesantren tentu saja
dengan adanya penyesuaian adaptasi dan disesuaikan dengan perkembangan jaman supaya
tidak terlihat kaku dan kuno.
Pada masa
kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang
sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak
sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan dan membantu perjuangan kemerdekaan
bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Sebut saja contohnya adalah KH. Hasyim Asy’ari, K.H.A Wahid Hasyim, KH. Ahmad
Dahlan, KH. Mas Mansyur dan masih banyak kiyai lainnya yang juga mempunyai
peran yang tidak kalah penting (Rohim, 2011: 6).
Namun memasuki
era modern seperti saat ini, terdengar dua kabar yang sangat kontras terhadap
perkembangan pesantren yang ada di Indonesia. Ada kabar yang sangat
menggembirakan dan ada pula kabar yang menyedihkan bagi para aktifis maupun
simpatisan pesantren. Kabar menggembirakan itu adalah pengakuan
publik terhadap kualitas masyarakat pesantren yang kian hari kian melembung,
seiring dengan tampilnya tokoh-tokoh nasional berlatar belakang santri
(Haedari, 2004: 5). Salah satunya adalah K.H.A. Wahid
Hasyim. Sebagai salah seorang pemimpin kaum tradisionalis Nahdlatul Ulama (NU),
salah seorang penandatangan Piagam Jakarta dan Mentri Agama dari tahun
1949-1952. Sedangkan kabar yang paling menyedihkan adalah munculnya kecurigaan
dunia luar terhadap dunia pesantren yang ditengarahi melahirkan gerakan
terorisme (Fauzinuddin, 2012: 3).
Dalam konteks
yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insan pesantren adalah mendialogkannya
dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi
pencerahan Islam. Maksudnya, insan pesantren perlu memosisikan warisan masa
lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk yang
ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam frame
yang terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu
dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi”
dan tidak lagi relevan, namun tidak menutup kemungkinan masih ada potensi yang
dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.
Pada
dasarnya, untuk menepis isu yang telah berkembang di masyarakat modern seperti
saat ini, prinsip “Al-Muhafazhatu ‘ala al-Qadimi Ash-Shalih wa al-Akhdzu bi
al-jadid al-Ashlah”, mempertahankan tradisi lama yang masih relevan dan
mengambil ide baru yang konstruktif dan prospektif, harus benar-benar dipegang
dan dikembangkan. Disinilah perlunya secara serius digabungkan mainstream ini
(tradisional dan modern) dengan sama-sama kuat, dengan gradualisasi dan
stratifikasi sinergis dan strategis (Asmani, 2003: 20). Pesantren yang
efektif harus mempunyai rencana global demikian pula strategi multidimensi
untuk pelaksanan visi yang dinyatakan dalam filosofinya. Strategi ini harus
menyeluruh, cukup mampu menjawab secara efektif seluruh kebutuhan masyarakat
dan meredam isu yang dapat “menjatuhkan” nama baik pesantren.
Melihat
latar belakang di atas, maka penulis akan membahas seberapa pentingkah “Eksistensi
Pesantren dalam Membangun Dunia Pendidikan Indonesia di Tengah Tantangan
Modernisasi dan Globalisasi”. Dalam kondisi yang seperti ini lah, pesantren
diharapkan mampu memecahkan tantangan jaman, yang mengarah pada kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta informasi. Pencetak generasi bangsa yang kompeten di berbagai bidang
dan yang perlu dicatat, pesantren harus mempertahankan khazanah luhur
pesantren, khususnya berupa tradisi keilmuan dan budaya yang dikembangkan
pesantren (Noor, 2006: 31). Selain itu, ada lima
pilar yang juga harus diperhatikan dalam upaya pengembangan pesantren. Lima
pilar yang menjadi ruh pesantren itu sendiri adalah Kiyai, santri, pondok,
masjid dan kitab kuning. Melalui lima pilar tersebut, pesantren dibangun untuk
mampu memberdayakan pesantren dalam upaya mewujudkan generasi emas di
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana sejarah
perkembangan pesantren di Indonesia?
1.2.2
Bagaimana sistem pendidikan
pesantren yang diterapkan di Indonesia saat ini?
1.2.3
Bagaimana fungsi pesantren
dalam mewujudkan generasi emas bangsa Indonesia di tengah-tengah tantangan
modernitas dan globalisasi?
1.2.4
Bagaimana strategi yang
efektif dalam upaya pengembangan pesantren di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Untuk mengetahui sejarah
perkembangan pesantren di Indonesia.
1.3.2
Untuk mengetahui sistem
pendidikan pesantren yang diterapkan di Indonesia saat ini.
1.3.3
Untuk mengetahui fungsi
pesantren dalam mewujudkan generasi emas bangsa Indonesia di tengah-tengah
tantangan modernitas dan globalisasi.
1.3.4
Untuk mengetahui strategi
yang efektif dalam upaya pengembangan pesantren di Indonesia.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1
Memberikan wawasan kepada
pembaca bahwa, pesantren mempunyai peran penting dalam upaya mencetak generasi
penerus bangsa yang mempunyai daya intelektual dan bermoral tinggi.
1.4.2
Mengembalikan jati diri
pesantren yang “mungkin” saat ini dipandang sebagai lembaga pendidikan
tradisional yang kolot, tidak mengetahui dunia modern, dan lain sebagainya.
1.5 Metode Penulisan
Dalam penulisan karya tulis ilmiah
ini, metode yang digunakan adalah:
1.
Study
literatur.
Study
ini bertujuan untuk mempelajari literatur yang berkaitan dengan eksistensi
dan perkembangan pesantren dalam menghadapi tantangan gobal.
2.
Pengumpulan
Data.
Dalam
penulisan karya ilmiah ini, penulis mengumpulkan data-data yang terkaitan
dengan kegiatan pesantren dengan tujuan menjadikan sebagai sumber untuk bisa
dijadikan bukti ilmiah dalam penulisan karya tulis ini dan memperkuat argumen
yang dikemukakan.
3.
Menganalisa
Data.
Dari
data-data yang di peroleh oleh penulis, kemudian penulis melakukan evaluasi
atau interpretasi, guna memberikan kejelasan tentang kajian yang dibahas dan
memberikan kejelasan relasi antara data-data yang telah ditemukan untuk bisa di
pertanggung jawabkan keontentikan dari hasil karya ilmiah tersebut dengan
memberikan pemahaman yang objektif terhadap fakta-fakta atas data-data yang
ada.
4.
Menarik Kesimpulan
Dari
hasil perbandingan dan interpretasi data yang ada, maka penulis dalam tahap
terakhir adalah menyimpulkan hasil intepretasi dan keterkaitan sumber data
dengan kajian yang dibahas.
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pesantren
2.1.1 Pengertian Pesantren
Secara bahasa, kata pesantren
berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an
(pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri
sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang
artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan
atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami
agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang
mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”,
yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi
menetap.
Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan
pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah
dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan
ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam
sejarah Islam.
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan
pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab
funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal
sederhana.Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural
pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid
berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal
lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal
meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.
2.1.2 Lima
Pilar Pesantren
Ada lima pilar atau elemen-elemen
pesantren yang menjadi ruh pembangunan pesantren, yaitu:
a.
Kiyai
Kiyai atau pengasuh pesantren merupakan sosok yang
yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang
di pulau Jawa dan Madura mempunyai sosok yang sangat disegani, kharismatik dan
berwibawa sehingga sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. menurut
Manfred Ziemnek, pengertian Kyai adalah Pendiri atau pemimpin sebuah pesantren,
sebagai muslim “terpelajar” yang telah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta
menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui
kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata “kyai”
disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. ( Moch. Eksan, 2000
).
b.
Santri
Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan
di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah
pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan
agama Islam.
Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu.
Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa. Pada umumnya
santri di bedakan menjadi dua, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri
mukim adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dipesantren
dan mempunyai tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren pada saat sudah
menjadi santri senior. Sedangkan santri kalong adalah santri desa di sekitar
pesantren. Mereka tidak menetap di pesantren melainkan pulang pergi dari rumah
menuju pesantren pada saat hendak mengaji (Haedari, 2004: 35).
c.
Pondok
Pondok atau tempat tinggal para santri merupakan ciri
khas tradisi pesantren yang membedakan dengan sistem pendidikan lainnya yang
berkembang di berbagai wilayah islam negara-negara lain. Pondok merupakan
bangunan yang menjadi tempat tinggal dan tempat ngaji bagi para santri.
d.
Masjid
Masjid merupakan tempat ibadah orang islam (Ilyas,
2004). Masjid dalam istilah pesantren tidak hanya sebagai tempat ritual ibadah
semata, maliankan juga digunakan sebagai tempat aktifitas pesantren seperti
sekolah diniyah. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam yang
pernah diprkatekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses
berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan umat (Haedari, 2004: 37).
e.
Kitab Kuning
Kitab kuning sering juga disebut dengan istilah kitab
gundul. Kitab kuning adalah bahan ajar yang digunakan dalam sitem pembelajaran
di pesantren (Sholikin, 2007). Kitab kuning atau yang sering disebut dengan
istilah kitab gundul merupakan kitab yang dikaji oleh semua warga pesantren.
Dan biasanya kitab yang dipelajari oleh pesantren diseluruh Indonesia adalah
sama. Kitab kuning sebagai kurikulum pesantren ditempatkan pada posisi istimewa.
Karena keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus menjadi ciri pembeda
antara pesantren dan lembaga pendidikan lainnya. Berdasarkan catatan sejarah,
pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan karangan
madzhab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab dan tanpa harakat
atau sering disebut dengan kitab gundul merupakan metode yang secara formal
diajarkan dalam pesantren di Indonesia
2.2 Moderenisasi
Wilbert E
Moore yang menyebutkan modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan
bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta
organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang
menjadi ciri Negara barat yang stabil. Sementara menurut J W School,
modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala
aspek-aspeknya.
Soerjono
Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu,
yaitu sebagai berikut :
-
Cara berpikir yang ilmiah yang
berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
-
Sistem administrasi negara yang
baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
-
Adanya sistem pengumpulan data yang
baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
-
Penciptaan iklim yang menyenangkan
dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi
massa.
-
Tingkat organisasi yang tinggi
yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti
pengurangan kemerdekaan.
-
Sentralisasi wewenang dalam
pelaksanaan perencanaan sosial.
2.3 Globalisasi
Menurut asal
katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang
maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah
suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap
individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki
definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition),
sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya
sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau
proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia
makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan Pesantren di Indonesia
Tidak ada data yang pasti, kapan
pertama kali pesantren muncul di tanah air. Namun salah satu sumber mensinyalir
bahwa setelah abad ke-16, terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab
kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fikih, tasawuf dan aqidah. Oleh
karena itu, seperti yang dikemukakan di awal, pesantren merupakan lembaga
pendidikan tertua di tanah air kita. Minimnya data tentang pesantren baik
berupa dokumen-dokumen atau peninggalan sejarah lainnya yang menjelaskan
sejarah awal pesantren. Mengenai
asal-usul dan latar belakang pesantren di Indonesia terjadi perbedaan pendapat
di kalangan para ahli sejarah. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa
pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pandangan
ini dikaitkan dengan fakta bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada awalnya
banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat dengan dipimpin oleh kyai. Salah
satu kegiatan tarekat adalah melakukan ibadah di masjid di bawah bimbingan
kyai. Untuk keperluan tersebut, kyai menyediakan ruang- ruang khusus untuk
menampung para santri sebelah kiri dan kanan masjid. Para pengikut tarekat
selain diajarkan amalan-amalan tarekat mereka juga diajarkan kitab agama dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan agama Islam.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa
kehadiran pesantren di Indonesia diilhami oleh lembaga pendidikan “ kuttab”,
yakni lembaga pendidikan pada masa kerajaan bani Umayyah. Pada tahap berikutnya
lembaga ini mengalami perkembangan pesat, karena didukung oleh masyarakat serta
adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik.
Pendapat ketiga, pesantren yang ada
sekarang merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren orang-orang Hindu di
Nusantara pada masa sebelum Islam. Lembaga ini dimaksudkan sebagai tempat
mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu serta tempat membina kader-kader penyebar
agama tersebut. Pesantren merupakan kreasi sejarah anak bangsa setelah
mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pesantren merupakan
sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan Hindu-Budha.
Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam khazanah lembaga pendidikan
pra-Islam. Hasil penelusuran sejarah menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian
pesantren pada awal ini terdapat di daerah -daerah sepanjang pantai utara Jawa,
seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem,
dan Cirebon. Kota-kota tersebut pada waktu itu merupakan kota kosmopolitan yang
menjadi jalur penghubung perdagangan dunia, sekaligus tempat persinggahan para
pedagang dan mubalig Islam yang datang dari Jazirah Arab seperti Persia dan
Irak.
3.2 Sistem Pendidikan Pesantren yang Diterapkan di Indonesia saat
ini.
Sistem
pendidikan di masing-masing pesantren tidak lah sama persis meskipun kitab yang
dipelajari atau digunakan adalah kebanyakan sama. Misalkan dalam ilmu alat
seperti nahwu mempelajari kitab: Jurumiyah, ‘Amriti, Alfiyah Ibnu
Malik, Balaghoh dan lain sebagainya. Ada juga ilmu shorof seperti: Tasrif istilah, I’lalut
tashrifiyah dan lain sebagainya. Dalam ilmu fiqih seperti halnya kitab Mabadi’ul
Fiqhiyah, Sulamu Attaufiq, Fathul Qorib, Fathul Mu’in dan lain sebagainya.
Dan masih banyak kitab-kitab lainnya yang kebanyakan di kaji di pesantren. Ada
kalanya sistem pembagian kelas berdasarkan kitab, ada pula yang berdasarkan
kemampuan dasar santri seperti kelas Sifir, Ula, Wustho, ‘Ulya.
Ada beberapa
metode pembelajaran pesantren yang menjadi ciri khas pesantren. Pada umumnya
setiap pesantren menerapkan metode ini. Dalam pandangan Kiyai Zarkasyi, pendiri
pondok pesantren Gontor, metode pembelajaran di setiap pesantren merupakan hal
yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan penemuan metode
yang lebih efektif untuk mengerjakan masing-masing cabang ilmu pengetahuan. Meskipun
demikian dalam jangka waktu yang cukup panjang, setiap pesantren menerapkan
metode klasik yang sama, yakni metode sorogan dan bandongan. Kedia metode itu
dilaksanakan setelah santri dianggap telah mampu membaca dengan lancar dan
menguasai Al-Qur’an.
a.
Sorogan
Metode sorogan ini dilakukan dengan
cara bimbingan individual atau face
to face antara kiyai dengan santri. Metode ini membutuhkan waktu yang cukup
lama jika santri yang mau ngaji sorogan dalam jumlah yang cukup banyak. Namun
hasil dari metode sorogan ini bisa dibilang baik. Hal ini disebabkan karena
metode yang cukup efektif. Guru mengucapkan, santri menulis dan mengucapkan
ulang sama seperti yang telah diucapkan oleh guru. Hal itu dilakukan
berulang-ulang. Metode ini biasanya dilakukan untuk santri yang pertama kali
masuk ke pesantren. Maksud dan tujuannya adalah agar santri mampu dan terbiasa
membaca dan belajar kitab kuning secara berkesinambungan sebelum santri
menerima materi kitab kuning yang lebih berat lagi dalam hal keilmuannya. Dan
metode ini merupakan metode pembelajaran yang paling sulit di antara metode
pembelajaran lainnya karena membutuhkan waktu, ketelatenan serta keuletan yang
lebih, baik bagi santri maupun kiyai yang mengajarnya.
b.
Bandongan
Telah diakui
bahwa metode pembelajaran yang paling banyak dilakukan adalah metode bandongan.
Metode bandongan ini dilakukan dengan guru atau kiyai membacakan kitab yang
berbahasa Arab yang diterjemahkan (kebanyakan bahasa Jawa) secara langsung.
Setelah itu murid menerjemahkan kata demi kata sama persis dengan apa yang
telah disampaikan oleh guru. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa
sehingga para santri diharapkan mengetahui dengan baik arti setiap kata serta
fungsi dalam suatu kalimat. Dengan sistem pembelajaran seperti ini santri akan
mampu belajar bahasa Arab secara langsung dari kitab yang dipelajari. Dalam
metode bandongan atau yang juga disebut weton ini dilakukan paling tidak oleh 5
sampai 50 santri dengan seorang guru. Guru membacakan kitab berbahasa Arab,
lalu menerjemahkan dan menerangkannya. Kemudian setiap santri meperhatikan
kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan penting untuk membantu dirinya
untuk memahami kitab yang sedang dipelajari. Sistem kelompok kelas seperti ini
sering disebut halqoh. Halaqoh yang secara bahasa diartikan
sebagai lingkaran murid, kelompok santri yang belajar di bawah bimbingan
seorang guru.
Selain metode
halaqoh, dalam dunia pesantren juga dikenal beberapa metode pengajaran
lainnya sebagai berikut:
1.
Hafalan (Tahfidz)
Sebagai sebuah metode pembelajaran, hafalan biasanya
diterapkan pada pelajaran yang sifatnya adalah nadhom (syair), bukan natsar
(prosa) dan biasanya itu terbatas pada ilmu kaidah bahasa Arab seperti Nadhom
Al ‘Amriti, Alfiyah Ibnu Malik, Jawahirul Maknun, Tasrif, dan lain
sebagainya.
2.
Hiwar atau
Musyawarah
Dalam pesantren salafiyah biasanya identik
dengan metode musyawaroh. Dalam pemahaman seperti itu, metode ini hampir sama
dengan metode-metode diskusi yang umum kita ketahui. Metode ini biasanya
menjadi kewajiban bagi setiap santri karena telah menjadi ketetapan oesantren.
Apa bila tidak ikut dalam hiwar biasanya santri dikenakan sanksi.
3.
Bahtsul Masa’il
Bahtsul Masa’il bisa juga disebut mudzakaroh,
merupakan pertemuan ilmiah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah,
aqidah, dan permasalahan-permasalahan agama lainnya. Metode ini hampir sama
dengan musyawaroh, namun yang membedakan adalah pesertanya merupakan kiyai dan
santri yang ilmunya sudah sangat mumpuni dalam bidang nahwu, shorof,
balaghoh, ushul fiqh serta tafsir.
4.
Fathul Kutub
Fathul kutub merupakan kegiatan latihan membaca
kitab terutama kitab klasik yang pada umumnya ditugaskan kepada santri senior
di pondok pesantren. Sebagai sebuah metode, fathul Kutub bertujuan
menguji kemampuan santri membaca kitab kuning, khususnya setelah mereka
menyelesaikan mata pelajaran kaidah bahasa Arab.
5.
Muqoronah
Muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus
pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, kitab, maupun
perbandingan paham (madzhab).
6.
Muhawaroh atau Muhadatsah
Muhawaroh merupakan latihan bercakap-cakap
dengan penggunaan bahasa Arab. Dalam aplikasinya metode ini ditetapkan dengan mewajibkan
kepada setiap santri untuk berbica dengan menggunakan bahasa Arab baik dengan
santri lain maupun guru. Ada kalanya hal semacam ini diterapkan selama santri
ada di pesantren ataupun hanya pada jam atau hari tertentu.
3.3 Fungsi Pesantren dalam Mewujudkan Generasi Emas Bangsa
Indonesia di Tengah-Tengah Tantangan Modernitas dan Globalisasi.
Sudah sejak
lama, sejarah telah membuktikan lembaga pendidikan Islam telah lahir jauh
sebelum pendidikan formal yang diadakan oleh kolonial Belanda. Model dari
pendidikan islam yang terkenal hingga saat ini adalah pesantren. Terkenal bukan
hanya nama, tokoh dan eksistensinya, bahkan model serta metode dalam
pembentukan individu telah menjadi rujukan bagi peneliti-peneliti dalam dan
luar negeri. Sudah saatnya pesantren tidak hanya
menekankan pada pembentukan sifat dan watak atau karakter tertentu yang
dianggap ideal, dengan menafikan lapangan penghidupan ataupun kesempatan kerja.
Sudah waktunya pula pesantren tetap bersikukuh untuk menciptakan dan
mempertahankan pandangan hidup yang berkarakter khas santri, tapi harus
diperhatikan pula ‘nilai-nilai baru’ yang datang dari luar lingkungan pesantren
melalui pola hubungan masyarakat pesantren dengan masyarakat sekitar (Kafrawi,
1978: 43-44). Pesantren yang efektif adalah pesantren yang mempunyai
visi dan misi, tujuan dan sasaran, peningkatan mutu, dan bisa menghasilkan
alumni yang bisa dihandalkan dan menjadi generasi bangsa yang berkopeten di
berbagai bidang, baik itu sains dan teknologi, sosial dan budaya, pendidikan,
perekonomian dan bahkan kedokteran (Purwoaji, 2003: 9).
Pesantren
yang efektif adalah pesantren yang mampu melahirkan para santri yang tidak
‘gagap’ dalam menghadapi dunia luar (Ishom, dkk., 2004: 29-30).
Dalam kehidupan yang telah memulai bergerak kencang menuju moderenitas dan
komplesitas globalisasi maka fungsi pesantren sangat penting. Apa lagi jika
pesantren mampu menawarkan konsep ataupun formula pendidikan karakter yang
sesungguhnya untuk membangun generasai emas bangsa ini.
Ada
tiga basis desain yang harus diperhatikan. Disinilah fungsi nyata pesantren
dalam memberikan formula nyata untuk pembangunan generasi bangsa ini maupun
untuk perkembangan pesantren itu sendiri.
1.
Desain pendidikan karakter berbasis
kelas.
Desain ini
berbasis pada relasi guru/ustad sebagai pendidik dan siswa/santri sebagai
pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional
komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog,
melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri atas guru dan
siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan
pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,
termasuk di dalamnya pula ranah noninstruksional, seperti manajemen
kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana
belajar yang nyaman. Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, kegiatan
rutin proses pembelajaran harian dilaksanakan di lingkungan masjid dengan
ustad/ustadzah bertindak sebagai fasilitator, mediator dan modeling.
2.
Desain pendidikan karakter berbasis
kultur sekolah/pesantren.
Desain ini
mencoba membangun kultur sekolah/pesantren yang mampu membentuk karakter anak
didik dengan bantuan pranata sosial sekolah/pesantren agar nilai tertentu
terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa/santri. Untuk menanamkan nilai
kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak
didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran
melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap
setiap perilaku ketidakjujuran. Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren,
implementasi desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah/pesantren dilaksanakan
dengan menata lingkungan fisik sekolah/pesantren dan pembuatan tata tertib
sekolah/pesantren yang bernuansa nilai-nilai Islam, hal tersebut relevan dengan
core pilar karakter yakni cinta kepada Allah dan segenap ciptaanya.
3.
Desain pendidikan karakter berbasis
komunitas.
Dalam mendidik,
komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga
pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki
tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam
konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum,
ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal,
negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai
makna tatanan sosial bersama. Dalam konteks pendidikan karakter di
pesantren, implementasi desain pendidikan karakter berbasis komunitas
dikembangkan dengan membuat kelompok-kelompok belajar dan mengembangkan program
pengembangan diri (Koesoema, 2010).
Fungsi
pesantren yang lebih nyata bisa dilihat peran para alumni itu sendiri di dalam
masyarakat. Setiap lembaga pendidikan,
termasuk didalamnya pesantren, pasti ingin menghasilkan alumni dengan standar
tinggi dan baik, dalam berilmu dan berprilaku. Dalam melihat kompetensi alumni
pesantren, hendaknya tidak hanya melihat seberapa besar atau seberapa banyak
alumni pesantren yang menjadi kyai atau profesi lainnya, output-nya
saja. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah input yang diperoleh
pesantren sebagai timbal baliknya, sebab bentukan pesantren adalah jaringan.
3.4 Strategi yang Efektif dalam Upaya Pengembangan Pesantren di
Indonesia
Seperti yang
telah dijelaskan pada latar belakang di atas yang menegaskan bahwa prinsip “Al-Muhafazhatu
‘ala al-Qadimi Ash-Shalih wa al-Akhdzu bi al-jadid al-Ashlah”, mempertahankan
tradisi lama yang masih relevan dan mengambil ide baru yang konstruktif dan
prospektif, harus benar-benar dipegang dan dikembangkan oleh pesantren. Karena
hal itu merupakan landasan dasar yang digunakan untuk membangun dan
mengembangkan pesantren sesuai dengan perkembangan jaman. Dengan
landasan dasar itulah usaha peningkatan mutu pesantren harus mampu diwujudkan
secara fokus. Oleh karena itu, dalam upaya pembangunan dan pengembangan
pesantren ada beberapa pilar yang harus diperhatikan.
1.
Pesantren Review
Pesantren
review diartikan secara mudah sebagai penataan ulang pesantren. Pesantren
Review merupakan suatu proses yang didalamnya seluruh komponen pesantren
bekerja sama dengan pihak-pihak yang relevan, khususnya orang tua santri dan
tenaga profesional untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas kebijakan
pesantren, program pelaksanaannya, serta mutu lulusan. Selanjutnya disebut
‘pesantren dengan manajemen terbuka’. Melalui Pesantren Review diharapkan
menghasilkan satu laporan komprehensif yang membeberkan tentang kekuatan,
kelemahan, dan prestasi pesantren serta memberikan rekomendasi kepada pengelola
pesantren untuk menyusun perencanaan strategi pengembangan pesantren yang tepat
dan efektif untuk masa-masa mendatang (Pidarta,
1998: 17).
2.
Quality Assurance
Menekankan orientasi pada proses
pelaksanaan kegiatan. Dengan kata lain, Quality Assurance bersifat process
oriented. Artinya, konsep ini mengandung suatu jaminan bahwa proses yang
berlangsung telah dilaksanakan sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran
yang ingin pesantren raih. Jika proses yang ideal telah ditempuh, diharapkan
output-nya akan maksimal (Sudjana, 2000: 39).
3.
Quality Control
Adalah suatu sistem untuk
menditeksi terjadinya penyimpangan kulitas output-nya yang tidak sesuai dengan
standar. Oleh sebab itu, diperlukan standar indikator kualitas yang jelas dan
pasti, berdasarkan tipologi pesantren yang empat diatas, sehingga dapat
ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi. Standar kualitas ini bersifat
relatif dan dapat diciptakan oleh setiap pesantren. Standar kulitas dapat
dipergunakan sebagai tolak ukur mengetahui maju mundurnya pesantren (Azyumardi,
1998: 52).
4.
Benchmarking
Josep Devito
(1991: 94) menyinggung benchmarking dalam dua hal, yakni;
-
Merupakan kegiatan
untuk menetapkan suatu standar baik proses maupun hasil yang akan dicapai dalam
suatu proses tertentu.
-
Standar dapat
ditentukan berdasarkan keadaan/realitas yang ada dipesantren, misalnya prestasi
yang diraih santri yang alim dan santri yang sedikit nakal namun cerdas (internal
benchmarking), maupun membandingkan standar kualitas dari pesantren lain
yang lebih baik (external benchmarking).
BAB 4. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hasil penelusuran sejarah
menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian pesantren pada awal ini terdapat di
daerah -daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta
(Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, dan Cirebon. Kota-kota tersebut pada
waktu itu merupakan kota kosmopolitan yang menjadi jalur penghubung perdagangan
dunia, sekaligus tempat persinggahan para pedagang dan mubalig Islam yang
datang dari Jazirah Arab seperti Persia dan Irak.
Ada beberapa
metode pembelajaran pesantren yang menjadi ciri khas pesantren. Pada umumnya
setiap pesantren menerapkan metode ini. Dalam pandangan Kiyai Zarkasyi, pendiri
pondok pesantren Gontor, metode pembelajaran di setiap pesantren merupakan hal
yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan penemuan metode
yang lebih efektif untuk mengerjakan masing-masing cabang ilmu pengetahuan.
Sudah saatnya pesantren tidak hanya
menekankan pada pembentukan sifat dan watak atau karakter tertentu yang
dianggap ideal, dengan menafikan lapangan penghidupan ataupun kesempatan kerja.
Sudah waktunya pula pesantren tetap bersikukuh untuk menciptakan dan
mempertahankan pandangan hidup yang berkarakter khas santri, tapi harus
diperhatikan pula ‘nilai-nilai baru’ yang datang dari luar lingkungan pesantren
melalui pola hubungan masyarakat pesantren dengan masyarakat sekitar.
Menegaskan bahwa prinsip “Al-Muhafazhatu
‘ala al-Qadimi Ash-Shalih wa al-Akhdzu bi al-jadid al-Ashlah”, mempertahankan
tradisi lama yang masih relevan dan mengambil ide baru yang konstruktif dan
prospektif, harus benar-benar dipegang dan dikembangkan oleh pesantren. Karena
hal itu merupakan landasan dasar yang digunakan untuk membangun dan
mengembangkan pesantren sesuai dengan perkembangan jaman.
5.2 Saran
Berdasarkan
artikel ini penulis mencoba mengajak semua pihak untuk lebih terbuka dalam
memandang potensi emas yang ada dalam pesantren itu sendiri maupun santri.
Karena dalam sistem pendidikan pesantren itu sendiri merupakan contoh dari
aplikasi pendidikan karakter yang sebenarnya. Jika kita melihat kenyataan saat
ini bahwa pendidikan karakter yang sedang ramai diperbincangkan dalam dunia
pendidikan formal saat ini hanya sebatas ‘formalitas’ materi yang disampaikan.
Murid merupakan obyek dari sistem pendidikan saat ini. Jadi aplikasi pendidikan
karakter harus benar-benar mampu diaplikasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar