BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu
program negara yang mempunyai fungsi dan tujuan yang nyata. Pendidikan
berfungsi untuk membentuk watak dan karakter bangsa yang bermartabat serta
mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh setiap waraganya dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan sikap individu (peserta
didik) agar menjadi manusia yang bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berbudi
luhur, berilmu, mandiri, serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu, tujuan yang
luhur itu harus benar-benar mendapat perhatian khusus agar bangsa ini tidak
dipandang sebagai bangsa yang kehilangan karakternya.
Sudah lebih dari sengah abad bangsa Indonesia merdeka, tapi sampai saat
ini justru bangsa Indonesia semakin mengalami degradasi karakter kebangsaan.
Meningkatnya tindak kriminal dan semakin menjadi-jadinya korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) di bangsa ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia sedang
kehilangan jati diri.
Belum lagi ancaman disintegrasi bangsa yang menggejala di berbagai daerah semakin menguatkan bahwa bangsa ini sedang mengalami kriris karakter kebangsaan.
Belum lagi ancaman disintegrasi bangsa yang menggejala di berbagai daerah semakin menguatkan bahwa bangsa ini sedang mengalami kriris karakter kebangsaan.
Pendidikan
yang semestinya menjadi motor ”perbaikan” sekaligus ”pembentukan” karakter
bangsa justru mengalami kegagalannya. Meskipun mengalami kegagalan, pendidikan
masih menjadi sarana yang paling efektif untuk membentuk karakter bangsa
Indonesia yang sesungguhnya. Reorientasi pendidikan dengan mendorong peran
pemerintah lebih optimal serta revitalisasi pendidik merupakan langkah awal yang
harus ditempuh untuk menjadikan pendidikan sebagai motor perbaikan dan
pembentukan karakter bangsa. Pendidikan terpadu merupakan sebuah tawaran
solutif atas implementasi pembelajaran yang berlansung selama ini yang telah
menyebabkan pendidikan terdikotomi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaiman potret problematika pendidikan yang terjadi di
Indonesia saat ini?
1.2.2
Bagaimana pendidikan budi pekerti yang ada di Indonesia saat
ini?
1.2.3
Bagaimana karakter bangsa Indonesia itu sendiri?
1.2.4
Bagaimana fungsi dari pendidikan terpadu dalam permasalahan
pendidikan yang ada di Indonesia?
1.2.5
Bagaimana peran mahasiswa dalam dunia pendidikan?
1.3 Tujuan
1.3.1
Mengetahui pengertian hakekat pendidikan itu sendiri dan
keadaan pendidikan pada saat ini yang terjadi di Indonesia.
1.3.2
Mengetahui pendidikan budi pekerti dan hubungannya dengan
degeredasi moral yang nyata terjadi di Indonesia.
1.3.3
Menetahui karakter bangsa indonesia yang sesungguhnya.
1.3.4
Untuk mengetahui fungsi pendidikan terpadu dalam
menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia.
1.3.5
Mendeskripsikan peranan mahasiswa sebagai agent of change.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pendidikan dan Problematika Pendidikan
di Indonesia
Pendidikan beasal dari bahasa Inggris yaitu “education”, berakar dari bahasa Latin “educare” yang berarti pembimbingan
berkelanjutan (to led forth). Jika
diperluas, arti etimologis itu mencerminkan adanya pendidikan yang berlangsung
secara terus menerus dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya sepanjang
keberadaan kehidupan manusia. Sedangkan secara teoritis, ada pendapat yang
mengatakan bahwa pada umumnya pendidikan bagi manusia itu berlagsung sejak 25
tahun sebelum kelahiran. Pendapat itu diartikan bahwa sebelum menikah, ada
kewjiban bagi siapa pun untuk mendidik diri sendir terlebih dahulu sebelum
mendidik anak keturunannya. Secara praktis ada pendapat yang mengatakan bahwa
bagi manusia individual, pendidikan itu telah dimulai sejak bayi lahir, bahkan
sejak bayi itu berada di dalam kandungan sang ibu. Melihat dari kedua pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan pendidikan itu melekat erat pada
dan di dalam diri manusia sepanjang jaman.
Jadi pendidikan adalah masalah khas manusia. Artinya adalah
hanya manusialah yang mempunyai persoalan pendidikan sepanjang dia itu hidup.
Sedangkan makhluk lain hidup dalam keadaan yang relatif stabil tanpa adanya
sebuah perubahan yang berarti, apalagi perkembangan. Kita ambil contoh adalah
ayam. Ketika ayam baru saja menetas dari telurnya bisa langsung hidup mencari
makan sendiri secara naluriah. Berbeda sekali dengan manusia. Ketika bayi baru
lahir, dia masih berada dalam kondisi yang labil dan terus menerus melakukan
perubahan dan perkembangan, baik secara fisik maupun piskisnya. Agar menjadi
manusia yang bisa diandalkan maka sejak kecil manusia harus dikenalakan dengan
pendidikan. Palaksanaan pendidikan dilakukan oleh dan untuk dirinya sendiri,
dengan sasaran mengembangkan pengetahuan serta menyusun teori-teori keilmuan
dan sistem teknologi. Sasaran pendidikan itu berfungsi sebagai alat, sarana,
dan jalan untuk membuat perubahan menuju perkembangan hidup. Pda titik inilah
manusia mewujudkan dirinya sebagai mahluk pendidikan.
Pendidikan nasional tidak dapat
dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia
baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai krisis yang terjadi
menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi.
Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan, dan telah
menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat sekelompok penguasa untuk
mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat
(Tilaar, 2000).
Jalal dan Supriyadi (2001) mengidentifikasi ada lima kelompok
besar isu strategis yang masing-masing isu tersebut mengandung dimensi-dimensi
ekonomi, politik, budaya, sosial, dan hukum. Isu pertama, lemahnya kemampuan
masyarakat dalam bidang pendidikan. Di samping lemahnya kemampuan finasial,
masyarakat juga belumm memiliki prasyarat kemampuan sosial, kultural, dan
legal, serta kemauan politik yang cukup untuk memprioritaskan pendidikan.
Kedua, lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional. Sebagai suatu sistem,
pendidikan nasional belum memiliki kemampuan cukup untuk memberikan layanan
terbaik bagi masyarakatnya. Struktur dari sistem yang baru belum jelas, budaya
pendukungnya juga belum jelas, inkonsistensi dalam peraturan perundangan masih
mungkin terjadi. Di samping itu, secara ekonomi, masih banyak hal yang belum
baik, pemborosan dan inefisiensi masih banyak ditemui. Isu ketiga adalah
desentralisasi pendidikan. UU No. 22 tahun 1999 sudah mulai dilaksanakan, namun
dalam hal urusan pendidikan belum mencapai tingkat kesiapan yang memadai.
Masalahnya tidak hanya terletak pada identifikasi dan pemilahan urusan daerah
dan urusan pusat, namun juga perlunya penataan sistem organisasi, manajemen,
pengembangan sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan lain sebagainya.
Keempat, relevansi pendidikan. Apabila peran pendidikan itu sendiri masih belum
jelas, tentu saja sistem yang relevan dengan antisipasi perkembangan
sosial-budaya masyarakat, perekonomian dan struktur ketenagakerjaannya,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tatanan politik masyarakat
yang demokratis, masih membutuhkan pemikiran yang mendasar. Kelima,
akuntabilitas pendidikan. Pendidikan dituntut dapat mempertanggung-jawabkan
tugas sesuai dengan visi dan misinya kepada masyarakat. Adalah kewajiban
pendidikan untuk menyediakan layanan pendidikan bermutu sesuai dengan sumber
daya yang tersedia dan dipercayakan kepadanya.
2.2
Pendidikan Budi Pekerti dan
Degredasi Moral
Pengertian budi pekerti adalah mengacu pada pengertian dalam
bahasa Inggris yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mempunyai
beberapa arti, diantaranya adalah adat istiadat, perilaku, dan sopan santun.
Namun pengertian budi pekerti hakiki adalah perilaku. Sementara itu menurut
draft kurikukum barbasis kompetesi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai
perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui
norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya dan adat
istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang
diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan,
dan kepribadian peserta didik.
Budi pekerti berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis,
kata etika sangat dekat dengan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos (jamak : ta etha) yang berarti adat kebiasaan. Dan moral berasal dari bahasa
Latin mos (jamak : mores) yang juga mengandung arti adat
kebiasaan.
Etika ialah studi tentang cara penerapan hal yang baik bagi
hidup manusia, yang menurut Solomon (1984 : 2) mencakup dua aspek, yaitu :
a.
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya,
b.
nilai-nilai hidup nyata dan hukum tingkah laku manusia yang
menopang nilai-nilai tersebut.
Sementara itu, Bertens (1993 : 4) mengartikan etika sebagai ilmu
yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk didalamnya moral yang mengandung
nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang
bagi pengaturan tingkah lakunya. Dengan kaitannya dengan budi pekerti,etika
membahasnya sebagai kesadaran seseorang untuk membuat pertimbangan moral yang
rasional mengenai kewajiban memutuskan pilihan yang terbaik dalam menghadapi
masalah yang nyata. Setiap keputusan yang diambil oleh seseorang harus
dipertanggungjawabkan secara moral terhadap diri sendiri maupun lingkungan di
sekitarnya.
Moral remaja dari tahun ketahun
terus mengalami penurunan kualitas atau degradasi. Dalam segala aspek moral,
mulai dari tutur kata, cara berpakaian dll. Degradasi moral ini seakan luput
dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang. Faktor utama yang mengakibatkan
degradasi moral remaja ialah perkembangan globalisasi yang tidak seimbang.
Virus globalisasi terus menggerogoti bangsa ini. Sayangnya kita seakan tidak
sadar, namun malah mengikutinya. Kita terus menuntut kemajuan di era global ini
tanpa memandang (lagi) aspek kesantunan budaya negeri ini. Ketidak seimbangan
itulah yang pada akhirnya membuat moral semakin jatuh dan rusak.
Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada
10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merupakan tanda-tanda
kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut adalah:
- meningkatnya kekerasan pada remaja
- penggunaan kata-kata yang memburuk
- pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
- meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas
- kaburnya batasan moral baik-buruk,
- menurunnya etos kerja
- rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
- rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
- membudayanya ketidakjujuran
- adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Atas dasar itulah maka
pendidikan karakter menjadi amat penting. Pendidikan karakter menjadi tumpuan
harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran yang
lebih dalam. Meski hingga saat ini belum ada rumusan tunggal tentang pendidikan
karakter yang efektif, tetapi barangkali tidak ada salahnya jika kita mengikuti
nasihat dari Character Education Partnership bahwa untuk dapat
mengimplementasikan program pendidikan karakter yang efektif, seyogyanya
memenuhi beberapa prinsip berikut ini:
- Komunitas sekolah mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai inti etika dan kinerja sebagai landasan karakter yang baik.
- Sekolah berusaha mendefinisikan “karakter” secara komprehensif, di dalamnya mencakup berpikir (thinking), merasa (feeling), dan melakukan (doing).
- Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, intensif, dan proaktif dalam pengembangan karakter.
- Sekolah menciptakan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian tinggi.(caring)
- Sekolah menyediakan kesempatan yang luas bagi para siswanya untuk melakukan berbagai tindakan moral (moral action).
- Sekolah menyediakan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, dapat menghargai dan menghormati seluruh peserta didik, mengembangkan karakter mereka, dan berusaha membantu mereka untuk meraih berbagai kesuksesan.
- Sekolah mendorong siswa untuk memiliki motivasi diri yang kuat
- Staf sekolah ( kepala sekolah, guru dan TU) adalah sebuah komunitas belajar etis yang senantiasa berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti yang telah disepakati. Mereka menjadi sosok teladan bagi para siswa.
- Sekolah mendorong kepemimpinan bersama yang memberikan dukungan penuh terhadap gagasan pendidikan karakter dalam jangka panjang.
- Sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter
- Secara teratur, sekolah melakukan asesmen terhadap budaya dan iklim sekolah, keberfungsian para staf sebagai pendidik karakter di sekolah, dan sejauh mana siswa dapat mewujudkan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
2.3
Karakter Bangsa yang
Sesungguhya
Karakter bangsa dalam
antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan
keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan
ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian
masyarakat tersebut. Memang harus diakui bahwa bangsa kita saat ini sedang
mengalami krisis karakter, Indonesia seolah kehilangan jati dirinya sebagai
bangsa yang memiliki prinsip ideologi kebangsaan yang eksklusif, berkebudayaan
tinggi, memiliki tata krama, sopan santun, toleransi, gotong royong, semangat
juang, dan nasionalisme. Nilai-nilai luhur yang berakar dari pengkajian kebudayaan
nenek moyang kita tersebut, saat ini telah mulai tergantikan oleh produk-produk
perkembangan zaman yang memungkinkan masuknya pengaruh-pengaruh budaya asing
yang secara tidak sadar sesungguhnya mulai menggeser eksistensi budaya bangsa
Indonesia sebagai karakter di kalangan masyarakatnya sendiri. Kita harus
menyadari bahwa karakter menjadi sangat penting bagi suatu bangsa karena ia
adalah kombinasi dari kualitas-kualitas khusus masyarakatnya yang akan membuat
bangsa tersebut berbeda dari bangsa-bangsa yang ada di dunia ini, apa jadinya
suatu bangsa yang tidak memiliki karakter? Hal-hal yang mungkin terjadi, antara
lain: hilangnya identitas nasional, mudah terombang-ambing dalam polemik yang
bermuara pada konflik, memungkinkan retaknya semangat kesatuan bangsa,
hilangnya semangat kecintaan serta kebanggaan terhadap bangsa, dan mudah
dimasuki oleh tujuan-tujuan negatif dari negara-negara adikuasa.
Permasalahan karakter bangsa saat ini telah menjadi isu
nasional, karena hal tersebutlah yang menjadi penyebab keterpurukan bangsa
Indonesia di berbagai bidang kehidupan, sehingga memaksa pemerintah untuk
melahirkan adanya kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa yang
diwujudkan dengan dibentuknya sejumlah lembaga nasional seperti Badan
Koordinasi Pembangunan Karakter Bangsa serta Satuan Kerja Pembangunan Karakter
Bangsa dari tingkat pusat sampai daerah serta banyak dilaksanakan
seminar-seminar yang mengangkat isu karakter bangsa sebagai tajuk utamanya.
Efektifkah kegiatan-kegiatan tersebut?
Kita memang harus tetap
mengapresiasi pencapaian dari program serta usaha-usaha pemerintah dan berbagai
organisasi untuk berkontribusi dalam usaha rediscovery of our national
character/identity. Namun, mari kita melihat menggunakan kacamata hati yang
lebih jujur dalam menjustifikasi keefektivitasan metode penyelesaian masalah
karakter bangsa ini. Seberapa seringkah kita melihat berita tentang
penyalahgunaan narkoba, tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, demonstrasi yang
berakhir anarkis, bentrok antar suku, ricuh antar kelompok masyarakat, korupsi,
suap-menyuap, kecurangan birokrasi, jual beli hukum, dan berbagai tindakan
tercela yang sering menjadi headline di media massa saat ini. Kita tidak
bisa menutup mata tentang masalah ini, inilah potret nyata merosotnya karakter
bangsa yang mulai tergantikan oleh paradigma-paradigma anarkis dan keserakahan lymbic
individualisme (pusat insting hewani manusia).
2.4
Pendidikan Terpadu
Masyarakat Indonesia seperti kehilangan prinsip dan nation dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep Bhenika Tunggal Ika sudah mulai
luntur dari jiwa-jiwa generasi sekarang. Akan tetapi semua proses yang terjadi
saat ini boleh jadi memberikan pendidikan yang berarti bagi masyarakat
Indonesia dalam mencari jati diri. Menurut Sarjono Djatiman, bangsa Indonesia
baru dalam proses menjadi Indonesia. Pada masa lalu, para pendiri bangsa ini
melakukan proses menjadi Indonesia dimulai dari para elite dengan proses
sukarela. Masing-masing menyatakan dirinya lalu mencari unsur-unsur yang bisa
dipakai sebagai pangkal tolak nation Indonesia. Nation Indonesia
dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan
keadilan. Inilah yang menjadi harapan pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia
sebagai bangsa yang memiliki jati diri.
Permasalahan pendidikan bangsa ini tidak pernah selesai, ada gejala yang tidak beres
dalam dunia pendidikan seperti; siswa yang tawuran, siswa yang menjadi korban
narkoba, siswa yang tidak bersemangat belajar, siswa yang memperkosa temannya
sendiri dan masih banyak lagi permasalahan pendidikan yang sedang berlangsung
belum lagi persoalan yang terjadi pada lulusan pendidikan yang terjebak pada
pengangguran atau para pelaku korupsi intelek yang menjadi-jadi. fenomena
kriminalitas yang terjadi dalam realitas kehidupan semuanya hampir bersentuhan
dengan pendidikan baik itu yang pra, saat atau pasca pendidikan.
Bila dikaitkan dengan
pembangunan karakter bangsa, pendidikan bisa diartikan secara lebih sempit
sebagai suatu cara membangun dalam berkehidupan bersama. Dalam skala tataran
antar komunitas, tanpa melihat etnis, suku, agama, ras dan sebagainya,
berkehidupan bersama berarti telah sepakat secara sadar untuk melakukan ikatan
bagi anggotanya menjadi suatu komunitas yang dilakukan dalam wilayah yang pasti
dan sah, serta diakui komunitas masyarakat lainnya (baca: internasional).
Dari sudut pandang inilah kemudian timbul berbagai teori tentang bangsa dan
negara. Karakter bangsa muncul dari komunitas-komunitas yang memiliki ikatan
dan aturan yang jelas. Dalam hal ini pendidikan berperan penting membangun
persamaan persefsi antar komunitas sehingga terjalin komunitas yang memiliki
karakter yang jelas dan kuat. Jika pendidikan gagal dalam membangun persefsi
antar komunitas maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan perbedaan serta
akan memudarkan nilai-nilai kebangsaan dan akan berdampak pada hilangnya
karakter bangsa.
Dari banyak literatur ada bukti, perilaku masyarakat amat erat kaitannya
dengan tingkat pendidikannya. Teori keterkaitan perilaku masyarakat dengan
tingkat pendidikan menjadi tidak sepenuhnya berlaku. Yang bisa dijadikan
instrumen untuk menjelaskannya tampaknya adalah peranan pendidikan dalam
membangun karakter bangsa (character building). Sayang, sudah lebih dari
setengah abad kita merdeka tampak sekali bahwa pembentukan karakter bangsa
dalam arti yang sebenarnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam konteks memahami fenomena
itu, menarik apa yang disarankan Unesco bahwa pendidikan harus mengandung tiga
unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know), (b) belajar untuk berbuat
(learn to do) dan (c) belajar untuk hidup bersama (learn to live
together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having,
agar sumberdaya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan
atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being menuju pembentukan
karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa
nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit; penanaman etika
berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi
manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak,
pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan
beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama.
Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman
Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara
penyampaiannya tentu saja diperlukan.
Reorientasi pendidikan perlu
segera dilakukan yaitu dengan melakukan tinjauan atas pelaksanan pendidikan dan
pembelajaran selama ini, pendidikan kita berjalan apa adanya dengan output
seadanya. Sehinga dalam pembelajaran tidak terjadi internalisaisi ilmu dalam
kehidupan sehari-hari. Terjadinya parsialisasi ilmu pengetahuan telah
mengakibatkan pendidikan kurang bermakna, banyak energi dan waktu yang tebuang
percuma tapi kebermanfaatan dan kebermaknaan ilmu yang diajarkan tidak
memberikan dampak yang berarti. Terjadinya pemisahan apa yang diajarkan di
sekolah dengan realita kehidupan membuat pendidikan kita tidak memiliki
karakter dan terkesan paradoks.
Untuk itu paradigma pendidikan
tepadu perlu digalakkan yaitu dengan memadukan antara teori dan praktek, antara
teks dan konteks, selama ini pendidikan kita berlangsung dikotomi antara teks
dan konteks, antara teori dan praktek. Pemisahan ini menyebabkan pemahaman
menjadi parsial dan tepisah-pisah dan pelajaran hanya di pahami sebatas
formalitas saja. Sehingga tidak ada pengaruh yang berarti ketika orang belajar
tentang budi pekerti atau belajar tentang pancasila. Karena nilai yang
diajarkan hanya sebatas normatif saja. Pendidikan terbadu dibangun atas
kesadaran dan pencarian kebenaran ilmu pengetahuan.
Pendidikan sudah harus
mengajarkan epistimologi ilmu tentang pelajaran yang diajarkan kepada siswa.
Krisis kebenaran ilmu dan disfungsi ilmu tidak terjadai, orang harusnya tahu
kenapa di harus belajar pancasila dan cara penerapannya, kenapa harus belajar
biologi dan implementasinya. Pendidikan harus menjadi proses konsientisasi
(penyadaran) dan sebagai praktek pemerdekaan. Dalam proses konsientasi
pendidikan tidak saja diarahkan pada realitas obyektif dan aktual, akan tetapi
juga pada proses penyadaran akan dirinya sebagai manusia yang memiliki jati
diri/ karakter. Pendidikan yang tidak diarahkan pada dua kesadaran ini,
sebenarnya telah menempatkan pendidikan sebagai proses penindasan dan praktek
pemerkosaan terhadap hak-hak hidup yang manusiawi. Dan akibat lebih lanjut
pendidikan akan membawa peserta didik hanya untuk hidup dan tidak membawa
kepada the process of being/ becoming.
2.5
Peran Mahasiswa sebagai Agent of Change
Sebagai agen perubahan
mahasiswa mempunyai peran penting dalam membantu persoalan pendidikan yang ada
di Indonesia. Melalui usaha-usaha pemberdayaan masyarakat, progres pengabdian
ke masyarakat sebagai bentuk integritas terhadap masyarakat.
Sebuah
nasihat dalam bahasa Arab berbunyi, “Inna
fi yadisy syubban amrul ummah wa fii
aqdaamihim hayaatuha” Sesungguhnya pada tangan para
generasi mudalah urusan suatu
ummat dan pada derap
langkah merekalah kehidupannya. Memang
benar apa kata nasihat
tersebut bahwa tidak dapat dipungkiri lagi
pada saat ini mahasiswa sebagai generasi muda memiliki peranan yang
sangat urgen dalam menentukan
kehidupan suatu bangsa
khususnya di Negara Indonesia yang kita cintai bersama ini.Pada
saat ini masyarakat memandang mahasiswa sebagai agen of
social change yang dengan
paradigma berpikir dan
intelektualitas tinggi yang dimilikinya
diharapkan dapat memberikan
perubahan yang berarti terhadap kemajuan
bangsa.
Seperti yang telah
kita ketahui bahwa dana
subsidi pendidikan tinggi negeri
berasal dari rakyat. Maka
memang sudah sepantasnya dan
menjadi kewajiban bagi mahasiswa untuk dapat membayar “utang” tersebut kepada
rakyat yang telah banyak membantu dalam proses studi
mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa juga
secara tidak langsung dituntut
untuk memiliki social responsibility.
Ada dua peran mahasiswa dalam rangka membuktikan social
responsibity-nya yaitu:
1.
Berperan sebagai
petugas knowledge transfer dari dunia kampus menuju luar kampus
dalam upaya mencerdaskan bangsa dalam berbagai bidang terutama masyarakat
kalangan menengah ke bawah
2.
Sebagai
pelopor dalam pembentukan community
development untuk memacu dinamisasi kehidupan masyarakat kelas menengah
ke bawah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pendidikan adalah masalah khas manusia. Artinya adalah hanya manusialah
yang mempunyai persoalan pendidikan sepanjang dia itu hidup. Sedangkan makhluk
lain hidup dalam keadaan yang relatif stabil tanpa adanya sebuah perubahan yang
berarti, apalagi perkembangan. Pendidikan nasional
tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu masyarakat
Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai krisis yang
terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam perubahan yang
terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan, dan
telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat sekelompok penguasa untuk
mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Budi
pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan
dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun,
norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi
perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan,
pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik.
Karakter
bangsa dalam antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai
budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan
memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai
kepribadian masyarakat tersebut.
Sebagai agen perubahan
mahasiswa mempunyai peran penting dalam membantu persoalan pendidikan yang ada
di Indonesia. Melalui usaha-usaha pemberdayaan masyarakat, progres pengabdian
ke masyarakat sebagai bentuk integritas terhadap masyarakat.
3.2
Saran
Peran
pendidikan seharusnya dipahami bukan saja dalam konteks mikro (kepentingan anak
didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), namun juga dalam
konteks makro, yaitu kepentingan masayarakat yang dalam hal ini termasuk
masyarakat bangsa, negara dan masyarakat dunia. Hubungan pendidikan dengan
masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan
ekonomi, politik, dan negara. Oleh karena pendidikan terjadi di masyarakat,
dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut
untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan
sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara silmultan.
DAFTAR PUSTAKA
- Suhartono, Suparlan. 2009. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
- Zuriah, Nurul. 2008. Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
- Syarifudin. 2011. Karakter Bangsa. http://syarifudin.webmaster2.com [5 Januari 2012]
- http://luthfiyahnurlaela.wordpress.com/
- http://id.shvoong.com/society-and-news/politic/2215362-kesenjangan-pendidikan-indonesia/#ixzz1smLIDZAO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar