Jumat, 30 Mei 2014

Cukup Kasmaran, Jangan Pacaran

Masa remaja adalah masa yang begitu indah bagi seorang anak manusia, karena pada masa inilah mereka mulai merasakan tentang suka terhadap lawan jenis, tentunya hal ini adalah wajar karena manusia di ciptakan memang dengan nafsu dalam dirinya, namun tentunya harus ada aturan yang membatasi akan hal tersebut agar tidak sampai melakukan sesuatu yang bisa merugikan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain (orang yang disuka, red), dalam hal ini norma-norma budaya setempat dan juga agama menjadi pokok penting dalam
membendung dan melawan arus negatif dari globalisasi yang merupakan sebab utama terjadinya hal yang tidak di inginkan, seperti hamil di luar nikah dan merembet pada aborsi karena ketidaksiapa mental, hingga tak jarang berujung pada bunuh diri.

mungkin bagi mereka yang belum pernah merasakan menjalin hubungan dekat tanpa ada surat nikah dari KUA, memandang bahwa hal tersebut sesuatu yang indah dan ingin sekali rasanya untuk segera mencoba, namun ada beberapa hal yang membuat mereka tetap menjadi jomblo hingga benar-benar menjalin hubungan yang sah secara agama tanpa melewati fase berpacaran, seperti memang tidak ada yang memandangnya sama sekali (#ups), rasa enggan untuk menjalin hubungan spesial (#malesbingit), dan terakhir adalah karena pemahaman yang tinggi akan budaya bangsa maupun norma-norma agama.

namun tak jarang pula, sudah banyak yang selama hidupnya menjalin hubungan dekat dengan orang lain, hal inilah yang menjadi sorotan dalam ‘oretan’ ini, tentang pemahaman dalam menghargai apa itu perasaan cinta / suka pada lawan jenis. Bergonta-ganti pasangan tentunya telah memberikan pengalaman tentang bagaimana rasanya di putusi dan memutus dalam berpacaran. Bagaimana begitu sedihnya perasaan kekasih kita, kala kita dengan sepihak memutus hubungan yang telah di jalani, apalagi bila sudah dalam jangka waktu yang lama, lalu saat setelah itu kita merasakan rasanya diputusi oleh orang yang kita suka, hingga kita tahu dan teringat bagaimana perasaan orang yang dulu kita putusi.

dari pengalaman kita harus mengambil pelajaran, jatuh pada lubang yang sama untuk kesekian adalah suatu kecerobohan, dalam hal ini tentang menghargai apa itu "virus merah jambu", boleh jadi memang kita mencintai seseorang tapi kalau bukan waktunya (siap sah sesuai syari'at) lantas kita memaksakan padahal kita telah tahu efek dari pemaksaan kedekatan hubungan yang tidak sah menurut agama, tentu takkan lega dalam hati kita, meskipun kita telah "memesan" orang yang kita suka dari ancaman kudeta hati dari orang lain, namun tetap dalam hati nurani kita yang sedikit banyak mengerti tentang bagaimana hukum agama memandang hal tersebut, tetap akan mengadakan pemberontakan, siapa yang terimbas? diri kita sendiri & korban pemaksaan yang kita lakukan (pacar,red). kalau memang kita menyukai seseorang lantas karena kita tak 'memesan'-nya mulai dari sekarang hingga ia di'pesan' oleh orang lain. maka katakan dalam hati seperti budaya orang jawa dalam mempercayai agama-Nya, yakni "Gusti Allah SWT mboten sare", dan seperti halnya menunggu buah durian yang masak secara alami, tak perlu kita susah-susah mengunduhnya, tunggu saja sampai waktu yang tepat, hingga Allah SWT yang akan menjatuhkan itu pada kita. yang alami lebih sehat dan lebih enak daripada yang lama dalam proses pematangan, baik melalui penyimpanan maupun pemberian obat, dan yang jelas tak menyebabkan labil ekonomi sebelum waktunya.

oretan ini terinspirasi dari status teman, dan terakhir mengutip pesan para khatib jum'at baik di awal ataupun kadang di akhir khotbahnya, "Saya mewasiatkan hal ini pada diri saya sendiri khususnya agar menjadi peringatan dan juga kepada para jama'ah agar wasiat ini bisa bermanfaat dan di lakukan dalam kehidupan"

Ihdinaash Shiraathal Mustaqiim. . .


disadur dari oretan Ahmad Faizul Furqon...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar