Kamis, 22 Mei 2014

EKSISTENSI PESANTREN DALAM MEMBANGUN DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA DI TENGAH TANTANGAN MODERNISASI DAN GLOBALISASI



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pesentren sebagai lembaga pendidikan pertama di Indonesia telah banyak melahirkan generasi-generasi emas, pondok pesantern telah menorehkan tinta emas dalam peradaban sejarah bangsa Indonesia. Pesantren bukan saja lembaga tempat mencari dan menuntut ilmu tetapi juga tempat penggemblengan karakter pada diri santri, ketika lulus dari pesanteran sang santri tersebut diharapkan dapat menerapakan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan contoh dan teladan bagi masyarakat. Hal ini yang tidak terdapat dalam pendidikan umum,
sekolah sekolah dan perguruan tinggi. Dalam hal ini bukan berarti penulis menghendaki semua metode pesantren diterapkan dalam lingkungan sekolah  penerapan pendidikan karakter yang ada dalam pesantren diberlakukan pada pondok pesantren tentu saja dengan adanya penyesuaian adaptasi dan disesuaikan dengan perkembangan jaman supaya tidak terlihat kaku dan kuno.
Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan dan membantu perjuangan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren. Sebut saja contohnya adalah KH. Hasyim Asy’ari, K.H.A Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansyur dan masih banyak kiyai lainnya yang juga mempunyai peran yang tidak kalah penting (Rohim, 2011: 6).
Namun memasuki era modern seperti saat ini, terdengar dua kabar yang sangat kontras terhadap perkembangan pesantren yang ada di Indonesia. Ada kabar yang sangat menggembirakan dan ada pula kabar yang menyedihkan bagi para aktifis maupun simpatisan pesantren. Kabar menggembirakan itu adalah pengakuan publik terhadap kualitas masyarakat pesantren yang kian hari kian melembung, seiring dengan tampilnya tokoh-tokoh nasional berlatar belakang santri (Haedari, 2004: 5). Salah satunya adalah K.H.A. Wahid Hasyim. Sebagai salah seorang pemimpin kaum tradisionalis Nahdlatul Ulama (NU), salah seorang penandatangan Piagam Jakarta dan Mentri Agama dari tahun 1949-1952. Sedangkan kabar yang paling menyedihkan adalah munculnya kecurigaan dunia luar terhadap dunia pesantren yang ditengarahi melahirkan gerakan terorisme (Fauzinuddin, 2012: 3).
Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insan pesantren adalah mendialogkannya dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insan pesantren perlu memosisikan warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk yang ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi” dan tidak lagi relevan, namun tidak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.
Pada dasarnya, untuk menepis isu yang telah berkembang di masyarakat modern seperti saat ini, prinsip “Al-Muhafazhatu ‘ala al-Qadimi Ash-Shalih wa al-Akhdzu bi al-jadid al-Ashlah”, mempertahankan tradisi lama yang masih relevan dan mengambil ide baru yang konstruktif dan prospektif, harus benar-benar dipegang dan dikembangkan. Disinilah perlunya secara serius digabungkan mainstream ini (tradisional dan modern) dengan sama-sama kuat, dengan gradualisasi dan stratifikasi sinergis dan strategis (Asmani, 2003:  20). Pesantren yang efektif harus mempunyai rencana global demikian pula strategi multidimensi untuk pelaksanan visi yang dinyatakan dalam filosofinya. Strategi ini harus menyeluruh, cukup mampu menjawab secara efektif seluruh kebutuhan masyarakat dan meredam isu yang dapat “menjatuhkan” nama baik pesantren.

Melihat latar belakang di atas, maka penulis akan membahas seberapa pentingkah “Eksistensi Pesantren dalam Membangun Dunia Pendidikan Indonesia di Tengah Tantangan Modernisasi dan Globalisasi”. Dalam kondisi yang seperti ini lah, pesantren diharapkan mampu memecahkan tantangan jaman, yang mengarah pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi. Pencetak generasi bangsa yang kompeten di berbagai bidang dan yang perlu dicatat, pesantren harus mempertahankan khazanah luhur pesantren, khususnya berupa tradisi keilmuan dan budaya yang dikembangkan pesantren (Noor, 2006: 31). Selain itu, ada lima pilar yang juga harus diperhatikan dalam upaya pengembangan pesantren. Lima pilar yang menjadi ruh pesantren itu sendiri adalah Kiyai, santri, pondok, masjid dan kitab kuning. Melalui lima pilar tersebut, pesantren dibangun untuk mampu memberdayakan pesantren dalam upaya mewujudkan generasi emas di Indonesia.



1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana sejarah perkembangan pesantren di Indonesia?
1.2.2        Bagaimana sistem pendidikan pesantren yang diterapkan di Indonesia saat ini?
1.2.3        Bagaimana fungsi pesantren dalam mewujudkan generasi emas bangsa Indonesia di tengah-tengah tantangan modernitas dan globalisasi?
1.2.4        Bagaimana strategi yang efektif dalam upaya pengembangan pesantren di Indonesia?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Untuk mengetahui sejarah perkembangan pesantren di Indonesia.
1.3.2        Untuk mengetahui sistem pendidikan pesantren yang diterapkan di Indonesia saat ini.
1.3.3        Untuk mengetahui fungsi pesantren dalam mewujudkan generasi emas bangsa Indonesia di tengah-tengah tantangan modernitas dan globalisasi.
1.3.4        Untuk mengetahui strategi yang efektif dalam upaya pengembangan pesantren di Indonesia.

1.4  Manfaat Penulisan
1.4.1        Memberikan wawasan kepada pembaca bahwa, pesantren mempunyai peran penting dalam upaya mencetak generasi penerus bangsa yang mempunyai daya intelektual dan bermoral tinggi.
1.4.2        Mengembalikan jati diri pesantren yang “mungkin” saat ini dipandang sebagai lembaga pendidikan tradisional yang kolot, tidak mengetahui dunia modern, dan lain sebagainya.



1.5  Metode Penulisan
            Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, metode yang digunakan adalah:
1.        Study literatur.
Study ini bertujuan untuk mempelajari literatur yang berkaitan dengan eksistensi dan perkembangan pesantren dalam menghadapi tantangan gobal.
2.        Pengumpulan Data.
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis mengumpulkan data-data yang terkaitan dengan kegiatan pesantren dengan tujuan menjadikan sebagai sumber untuk bisa dijadikan bukti ilmiah dalam penulisan karya tulis ini dan memperkuat argumen yang dikemukakan.
3.        Menganalisa Data.
Dari data-data yang di peroleh oleh penulis, kemudian penulis melakukan evaluasi atau interpretasi, guna memberikan kejelasan tentang kajian yang dibahas dan memberikan kejelasan relasi antara data-data yang telah ditemukan untuk bisa di pertanggung jawabkan keontentikan dari hasil karya ilmiah tersebut dengan memberikan pemahaman yang objektif terhadap fakta-fakta atas data-data yang ada.
4.        Menarik  Kesimpulan
Dari hasil perbandingan dan interpretasi data yang ada, maka penulis dalam tahap terakhir adalah menyimpulkan hasil intepretasi dan keterkaitan sumber data dengan kajian yang dibahas.




BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

2.1  Pesantren
2.1.1 Pengertian Pesantren
            Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.

2.1.2 Lima Pilar Pesantren
            Ada lima pilar atau elemen-elemen pesantren yang menjadi ruh pembangunan pesantren, yaitu:

a.       Kiyai
Kiyai atau pengasuh pesantren merupakan sosok yang yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di pulau Jawa dan Madura mempunyai sosok yang sangat disegani, kharismatik dan berwibawa sehingga sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. menurut Manfred Ziemnek, pengertian Kyai adalah Pendiri atau pemimpin sebuah pesantren, sebagai muslim “terpelajar” yang telah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata “kyai” disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. ( Moch. Eksan, 2000 ).
b.      Santri
Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa. Pada umumnya santri di bedakan menjadi dua, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dipesantren dan mempunyai tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren pada saat sudah menjadi santri senior. Sedangkan santri kalong adalah santri desa di sekitar pesantren. Mereka tidak menetap di pesantren melainkan pulang pergi dari rumah menuju pesantren pada saat hendak mengaji (Haedari, 2004: 35).
c.       Pondok
Pondok atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan dengan sistem pendidikan lainnya yang berkembang di berbagai wilayah islam negara-negara lain. Pondok merupakan bangunan yang menjadi tempat tinggal dan tempat ngaji bagi para santri.
d.      Masjid
Masjid merupakan tempat ibadah orang islam (Ilyas, 2004). Masjid dalam istilah pesantren tidak hanya sebagai tempat ritual ibadah semata, maliankan juga digunakan sebagai tempat aktifitas pesantren seperti sekolah diniyah. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah diprkatekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan umat (Haedari, 2004: 37).
e.       Kitab Kuning
Kitab kuning sering juga disebut dengan istilah kitab gundul. Kitab kuning adalah bahan ajar yang digunakan dalam sitem pembelajaran di pesantren (Sholikin, 2007). Kitab kuning atau yang sering disebut dengan istilah kitab gundul merupakan kitab yang dikaji oleh semua warga pesantren. Dan biasanya kitab yang dipelajari oleh pesantren diseluruh Indonesia adalah sama. Kitab kuning sebagai kurikulum pesantren ditempatkan pada posisi istimewa. Karena keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus menjadi ciri pembeda antara pesantren dan lembaga pendidikan lainnya. Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan karangan madzhab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab dan tanpa harakat atau sering disebut dengan kitab gundul merupakan metode yang secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia

2.2  Moderenisasi
Wilbert E Moore yang menyebutkan modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri Negara barat yang stabil. Sementara menurut J W School, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut :
-          Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
-          Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
-          Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
-          Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
-          Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
-          Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.

2.3  Globalisasi
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.




BAB 3. PEMBAHASAN

3.1  Sejarah Perkembangan Pesantren di Indonesia
            Tidak ada data yang pasti, kapan pertama kali pesantren muncul di tanah air. Namun salah satu sumber mensinyalir bahwa setelah abad ke-16, terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fikih, tasawuf dan aqidah. Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan di awal, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di tanah air kita. Minimnya data tentang pesantren baik berupa dokumen-dokumen atau peninggalan sejarah lainnya yang menjelaskan sejarah awal  pesantren. Mengenai asal-usul dan latar belakang pesantren di Indonesia terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pandangan ini dikaitkan dengan fakta bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada awalnya banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat dengan dipimpin oleh kyai. Salah satu kegiatan tarekat adalah melakukan ibadah di masjid di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan tersebut, kyai menyediakan ruang- ruang khusus untuk menampung para santri sebelah kiri dan kanan masjid. Para pengikut tarekat selain diajarkan amalan-amalan tarekat mereka juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam.
            Pendapat kedua, menyatakan bahwa kehadiran pesantren di Indonesia diilhami oleh lembaga pendidikan “ kuttab”, yakni lembaga pendidikan pada masa kerajaan bani Umayyah. Pada tahap berikutnya lembaga ini mengalami perkembangan pesat, karena didukung oleh masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik.
            Pendapat ketiga, pesantren yang ada sekarang merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren orang-orang Hindu di Nusantara pada masa sebelum Islam. Lembaga ini dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu serta tempat membina kader-kader penyebar agama tersebut. Pesantren merupakan kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam khazanah lembaga pendidikan pra-Islam. Hasil penelusuran sejarah menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian pesantren pada awal ini terdapat di daerah -daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, dan Cirebon. Kota-kota tersebut pada waktu itu merupakan kota kosmopolitan yang menjadi jalur penghubung perdagangan dunia, sekaligus tempat persinggahan para pedagang dan mubalig Islam yang datang dari Jazirah Arab seperti Persia dan Irak.

3.2  Sistem Pendidikan Pesantren yang Diterapkan di Indonesia saat ini.
Sistem pendidikan di masing-masing pesantren tidak lah sama persis meskipun kitab yang dipelajari atau digunakan adalah kebanyakan sama. Misalkan dalam ilmu alat seperti nahwu mempelajari kitab: Jurumiyah, ‘Amriti, Alfiyah Ibnu Malik, Balaghoh dan lain sebagainya. Ada juga ilmu shorof  seperti: Tasrif istilah, I’lalut tashrifiyah dan lain sebagainya. Dalam ilmu fiqih seperti halnya kitab Mabadi’ul Fiqhiyah, Sulamu Attaufiq, Fathul Qorib, Fathul Mu’in dan lain sebagainya. Dan masih banyak kitab-kitab lainnya yang kebanyakan di kaji di pesantren. Ada kalanya sistem pembagian kelas berdasarkan kitab, ada pula yang berdasarkan kemampuan dasar santri seperti kelas Sifir, Ula, Wustho, ‘Ulya.
Ada beberapa metode pembelajaran pesantren yang menjadi ciri khas pesantren. Pada umumnya setiap pesantren menerapkan metode ini. Dalam pandangan Kiyai Zarkasyi, pendiri pondok pesantren Gontor, metode pembelajaran di setiap pesantren merupakan hal yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif untuk mengerjakan masing-masing cabang ilmu pengetahuan. Meskipun demikian dalam jangka waktu yang cukup panjang, setiap pesantren menerapkan metode klasik yang sama, yakni metode sorogan dan bandongan. Kedia metode itu dilaksanakan setelah santri dianggap telah mampu membaca dengan lancar dan menguasai Al-Qur’an.
a.      Sorogan
Metode sorogan ini dilakukan dengan cara bimbingan individual atau  face to face antara kiyai dengan santri. Metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama jika santri yang mau ngaji sorogan dalam jumlah yang cukup banyak. Namun hasil dari metode sorogan ini bisa dibilang baik. Hal ini disebabkan karena metode yang cukup efektif. Guru mengucapkan, santri menulis dan mengucapkan ulang sama seperti yang telah diucapkan oleh guru. Hal itu dilakukan berulang-ulang. Metode ini biasanya dilakukan untuk santri yang pertama kali masuk ke pesantren. Maksud dan tujuannya adalah agar santri mampu dan terbiasa membaca dan belajar kitab kuning secara berkesinambungan sebelum santri menerima materi kitab kuning yang lebih berat lagi dalam hal keilmuannya. Dan metode ini merupakan metode pembelajaran yang paling sulit di antara metode pembelajaran lainnya karena membutuhkan waktu, ketelatenan serta keuletan yang lebih, baik bagi santri maupun kiyai yang mengajarnya.
b.      Bandongan
Telah diakui bahwa metode pembelajaran yang paling banyak dilakukan adalah metode bandongan. Metode bandongan ini dilakukan dengan guru atau kiyai membacakan kitab yang berbahasa Arab yang diterjemahkan (kebanyakan bahasa Jawa) secara langsung. Setelah itu murid menerjemahkan kata demi kata sama persis dengan apa yang telah disampaikan oleh guru. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa sehingga para santri diharapkan mengetahui dengan baik arti setiap kata serta fungsi dalam suatu kalimat. Dengan sistem pembelajaran seperti ini santri akan mampu belajar bahasa Arab secara langsung dari kitab yang dipelajari. Dalam metode bandongan atau yang juga disebut weton ini dilakukan paling tidak oleh 5 sampai 50 santri dengan seorang guru. Guru membacakan kitab berbahasa Arab, lalu menerjemahkan dan menerangkannya. Kemudian setiap santri meperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan penting untuk membantu dirinya untuk memahami kitab yang sedang dipelajari. Sistem kelompok kelas seperti ini sering disebut halqoh. Halaqoh yang secara bahasa diartikan sebagai lingkaran murid, kelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang guru.
Selain metode halaqoh, dalam dunia pesantren juga dikenal beberapa metode pengajaran lainnya sebagai berikut:
1.      Hafalan (Tahfidz)
Sebagai sebuah metode pembelajaran, hafalan biasanya diterapkan pada pelajaran yang sifatnya adalah nadhom (syair), bukan natsar (prosa) dan biasanya itu terbatas pada ilmu kaidah bahasa Arab seperti Nadhom Al ‘Amriti, Alfiyah Ibnu Malik, Jawahirul Maknun, Tasrif, dan lain sebagainya.
2.      Hiwar atau Musyawarah
Dalam pesantren salafiyah biasanya identik dengan metode musyawaroh. Dalam pemahaman seperti itu, metode ini hampir sama dengan metode-metode diskusi yang umum kita ketahui. Metode ini biasanya menjadi kewajiban bagi setiap santri karena telah menjadi ketetapan oesantren. Apa bila tidak ikut dalam hiwar biasanya santri dikenakan sanksi.
3.      Bahtsul Masa’il
Bahtsul Masa’il bisa juga disebut mudzakaroh, merupakan pertemuan ilmiah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah, dan permasalahan-permasalahan agama lainnya. Metode ini hampir sama dengan musyawaroh, namun yang membedakan adalah pesertanya merupakan kiyai dan santri yang ilmunya sudah sangat mumpuni dalam bidang nahwu, shorof, balaghoh, ushul fiqh serta tafsir.
4.      Fathul Kutub
Fathul kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab terutama kitab klasik yang pada umumnya ditugaskan kepada santri senior di pondok pesantren. Sebagai sebuah metode, fathul Kutub bertujuan menguji kemampuan santri membaca kitab kuning, khususnya setelah mereka menyelesaikan mata pelajaran kaidah bahasa Arab.



5.      Muqoronah
Muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, kitab, maupun perbandingan paham (madzhab).
6.      Muhawaroh atau Muhadatsah
Muhawaroh merupakan latihan bercakap-cakap dengan penggunaan bahasa Arab. Dalam aplikasinya metode ini ditetapkan dengan mewajibkan kepada setiap santri untuk berbica dengan menggunakan bahasa Arab baik dengan santri lain maupun guru. Ada kalanya hal semacam ini diterapkan selama santri ada di pesantren ataupun hanya pada jam atau hari tertentu.

3.3  Fungsi Pesantren dalam Mewujudkan Generasi Emas Bangsa Indonesia di Tengah-Tengah Tantangan Modernitas dan Globalisasi.
Sudah sejak lama, sejarah telah membuktikan lembaga pendidikan Islam telah lahir jauh sebelum pendidikan formal yang diadakan oleh kolonial Belanda. Model dari pendidikan islam yang terkenal hingga saat ini adalah pesantren. Terkenal bukan hanya nama, tokoh dan eksistensinya, bahkan model serta metode dalam pembentukan individu telah menjadi rujukan bagi peneliti-peneliti dalam dan luar negeri. Sudah saatnya pesantren tidak hanya menekankan pada pembentukan sifat dan watak atau karakter tertentu yang dianggap ideal, dengan menafikan lapangan penghidupan ataupun kesempatan kerja. Sudah waktunya pula pesantren tetap bersikukuh untuk menciptakan dan mempertahankan pandangan hidup yang berkarakter khas santri, tapi harus diperhatikan pula ‘nilai-nilai baru’ yang datang dari luar lingkungan pesantren melalui pola hubungan masyarakat pesantren dengan masyarakat sekitar (Kafrawi, 1978: 43-44). Pesantren yang efektif adalah pesantren yang mempunyai visi dan misi, tujuan dan sasaran, peningkatan mutu, dan bisa menghasilkan alumni yang bisa dihandalkan dan menjadi generasi bangsa yang berkopeten di berbagai bidang, baik itu sains dan teknologi, sosial dan budaya, pendidikan, perekonomian dan bahkan kedokteran (Purwoaji, 2003: 9).
Pesantren yang efektif adalah pesantren yang mampu melahirkan para santri yang tidak ‘gagap’ dalam menghadapi dunia luar (Ishom, dkk., 2004: 29-30). Dalam kehidupan yang telah memulai bergerak kencang menuju moderenitas dan komplesitas globalisasi maka fungsi pesantren sangat penting. Apa lagi jika pesantren mampu menawarkan konsep ataupun formula pendidikan karakter yang sesungguhnya untuk membangun generasai emas bangsa ini.
Ada tiga basis desain yang harus diperhatikan. Disinilah fungsi nyata pesantren dalam memberikan formula nyata untuk pembangunan generasi bangsa ini maupun untuk perkembangan pesantren itu sendiri.
1.      Desain pendidikan  karakter berbasis kelas.
Desain ini berbasis pada relasi guru/ustad sebagai pendidik dan siswa/santri sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri atas guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula ranah  noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman. Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, kegiatan rutin proses pembelajaran harian dilaksanakan di lingkungan masjid dengan ustad/ustadzah bertindak sebagai fasilitator, mediator dan modeling.
2.      Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah/pesantren.
Desain ini mencoba membangun kultur sekolah/pesantren yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah/pesantren agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa/santri. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah/pesantren dilaksanakan dengan menata lingkungan fisik sekolah/pesantren dan pembuatan tata tertib sekolah/pesantren yang bernuansa nilai-nilai Islam, hal tersebut relevan dengan core pilar karakter yakni cinta kepada Allah dan segenap ciptaanya.
3.      Desain pendidikan karakter berbasis komunitas.
Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam  konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.  Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakter berbasis komunitas dikembangkan dengan membuat kelompok-kelompok belajar dan mengembangkan program pengembangan diri (Koesoema, 2010).
Fungsi pesantren yang lebih nyata bisa dilihat peran para alumni itu sendiri di dalam masyarakat.  Setiap lembaga pendidikan, termasuk didalamnya pesantren, pasti ingin menghasilkan alumni dengan standar tinggi dan baik, dalam berilmu dan berprilaku. Dalam melihat kompetensi alumni pesantren, hendaknya tidak hanya melihat seberapa besar atau seberapa banyak alumni pesantren yang menjadi kyai atau profesi lainnya, output-nya saja. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah input yang diperoleh pesantren sebagai timbal baliknya, sebab bentukan pesantren adalah jaringan.




3.4  Strategi yang Efektif dalam Upaya Pengembangan Pesantren di Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang di atas yang menegaskan bahwa prinsip “Al-Muhafazhatu ‘ala al-Qadimi Ash-Shalih wa al-Akhdzu bi al-jadid al-Ashlah”, mempertahankan tradisi lama yang masih relevan dan mengambil ide baru yang konstruktif dan prospektif, harus benar-benar dipegang dan dikembangkan oleh pesantren. Karena hal itu merupakan landasan dasar yang digunakan untuk membangun dan mengembangkan pesantren sesuai dengan perkembangan jaman. Dengan landasan dasar itulah usaha peningkatan mutu pesantren harus mampu diwujudkan secara fokus. Oleh karena itu, dalam upaya pembangunan dan pengembangan pesantren ada beberapa pilar yang harus diperhatikan.
1.      Pesantren Review
Pesantren review diartikan secara mudah sebagai penataan ulang pesantren. Pesantren Review merupakan suatu proses yang didalamnya seluruh komponen pesantren bekerja sama dengan pihak-pihak yang relevan, khususnya orang tua santri dan tenaga profesional untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas kebijakan pesantren, program pelaksanaannya, serta mutu lulusan. Selanjutnya disebut ‘pesantren dengan manajemen terbuka’. Melalui Pesantren Review diharapkan menghasilkan satu laporan komprehensif yang membeberkan tentang kekuatan, kelemahan, dan prestasi pesantren serta memberikan rekomendasi kepada pengelola pesantren untuk menyusun perencanaan strategi pengembangan pesantren yang tepat dan efektif untuk masa-masa mendatang (Pidarta, 1998: 17).
2.      Quality Assurance
Menekankan orientasi pada proses pelaksanaan kegiatan. Dengan kata lain, Quality Assurance bersifat process oriented. Artinya, konsep ini mengandung suatu jaminan bahwa proses yang berlangsung telah dilaksanakan sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin pesantren raih. Jika proses yang ideal telah ditempuh, diharapkan output-nya akan maksimal (Sudjana, 2000: 39).
3.      Quality Control
Adalah suatu sistem untuk menditeksi terjadinya penyimpangan kulitas output-nya yang tidak sesuai dengan standar. Oleh sebab itu, diperlukan standar indikator kualitas yang jelas dan pasti, berdasarkan tipologi pesantren yang empat diatas, sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi. Standar kualitas ini bersifat relatif dan dapat diciptakan oleh setiap pesantren. Standar kulitas dapat dipergunakan sebagai tolak ukur mengetahui maju mundurnya pesantren (Azyumardi, 1998: 52).
4.      Benchmarking
       Josep Devito (1991: 94) menyinggung benchmarking dalam dua hal, yakni;
-          Merupakan kegiatan untuk menetapkan suatu standar baik proses maupun hasil yang akan dicapai dalam suatu proses tertentu.
-          Standar dapat ditentukan berdasarkan keadaan/realitas yang ada dipesantren, misalnya prestasi yang diraih santri yang alim dan santri yang sedikit nakal namun cerdas (internal benchmarking), maupun membandingkan standar kualitas dari pesantren lain yang lebih baik (external benchmarking).





BAB 4. PENUTUP

5.1  Kesimpulan
            Hasil penelusuran sejarah menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian pesantren pada awal ini terdapat di daerah -daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, dan Cirebon. Kota-kota tersebut pada waktu itu merupakan kota kosmopolitan yang menjadi jalur penghubung perdagangan dunia, sekaligus tempat persinggahan para pedagang dan mubalig Islam yang datang dari Jazirah Arab seperti Persia dan Irak.
Ada beberapa metode pembelajaran pesantren yang menjadi ciri khas pesantren. Pada umumnya setiap pesantren menerapkan metode ini. Dalam pandangan Kiyai Zarkasyi, pendiri pondok pesantren Gontor, metode pembelajaran di setiap pesantren merupakan hal yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif untuk mengerjakan masing-masing cabang ilmu pengetahuan.
            Sudah saatnya pesantren tidak hanya menekankan pada pembentukan sifat dan watak atau karakter tertentu yang dianggap ideal, dengan menafikan lapangan penghidupan ataupun kesempatan kerja. Sudah waktunya pula pesantren tetap bersikukuh untuk menciptakan dan mempertahankan pandangan hidup yang berkarakter khas santri, tapi harus diperhatikan pula ‘nilai-nilai baru’ yang datang dari luar lingkungan pesantren melalui pola hubungan masyarakat pesantren dengan masyarakat sekitar.
            Menegaskan bahwa prinsip “Al-Muhafazhatu ‘ala al-Qadimi Ash-Shalih wa al-Akhdzu bi al-jadid al-Ashlah”, mempertahankan tradisi lama yang masih relevan dan mengambil ide baru yang konstruktif dan prospektif, harus benar-benar dipegang dan dikembangkan oleh pesantren. Karena hal itu merupakan landasan dasar yang digunakan untuk membangun dan mengembangkan pesantren sesuai dengan perkembangan jaman.


5.2  Saran
Berdasarkan artikel ini penulis mencoba mengajak semua pihak untuk lebih terbuka dalam memandang potensi emas yang ada dalam pesantren itu sendiri maupun santri. Karena dalam sistem pendidikan pesantren itu sendiri merupakan contoh dari aplikasi pendidikan karakter yang sebenarnya. Jika kita melihat kenyataan saat ini bahwa pendidikan karakter yang sedang ramai diperbincangkan dalam dunia pendidikan formal saat ini hanya sebatas ‘formalitas’ materi yang disampaikan. Murid merupakan obyek dari sistem pendidikan saat ini. Jadi aplikasi pendidikan karakter harus benar-benar mampu diaplikasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar